Building Bridges: Collaborative Stakeholder Engagement

Membangun kolaborasi dengan stakeholder bukan sekadar menyampaikan informasi atau menyosialisasikan kebijakan. Ia adalah seni sekaligus strategi: bagaimana organisasi menjalin hubungan yang saling menguatkan dengan orang-orang yang punya kepentingan, pengaruh, dan keterlibatan dalam keberhasilan atau bahkan kegagalannya. Di tengah dunia yang semakin kompleks dan saling terhubung, pendekatan yang inovatif dan kolaboratif menjadi kebutuhan, bukan lagi pilihan.

Freeman (1984), pelopor teori stakeholder, menyatakan bahwa stakeholder adalah “any group or individual who can affect or is affected by the achievement of the organization’s objectives.” Definisi yang luas ini mencerminkan realitas dunia kerja dan bisnis saat ini, namun tetap saja, dalam praktik banyak organisasi masih kebingungan: siapa sebenarnya stakeholder mereka?

ISO 26000 (Guidance on Social Responsibility), menjelaskan bahwa stakeholder adalah individu atau kelompok yang bisa memengaruhi atau terpengaruh oleh keputusan dan aktivitas organisasi. Artinya, stakeholder bisa mencakup siapa saja—dari pegawai internal, manajemen, komunitas lokal, regulator, investor, pelanggan, media, hingga Key Opinion Leader (KOL). Dalam konteks bisnis produk dan jasa, menjalin kolaborasi dengan figur publik atau individu berpengaruh membuka akses pada pasar yang lebih luas dan membangun kepercayaan sosial yang sebelumnya sulit dijangkau.

Namun memahami siapa mereka saja tidak cukup. Yang lebih penting adalah bagaimana kita membangun hubungan yang bermakna dengan mereka. Sherry Arnstein, dalam karya klasiknya A Ladder of Citizen Participation (1969), menawarkan cara berpikir tentang partisipasi publik dalam bentuk tangga—dimulai dari tingkat informatif, konsultatif, hingga partisipatif dan pemberdayaan. Dalam konteks manajemen stakeholder, organisasi perlu merefleksikan: apakah mereka hanya menyampaikan informasi, mengajak berdiskusi, atau benar-benar memberikan ruang bagi stakeholder untuk terlibat sejak awal? Jawaban atas pertanyaan ini sangat menentukan kualitas hubungan dan tingkat kepercayaan yang terbangun. Tidak semua stakeholder diperlakukan sama, dan itulah mengapa stakeholder engagement tidak bisa diseragamkan—ia harus kontekstual dan adaptif.

Inovasi dalam metode kolaborasi juga menjadi kunci. Pendekatan seperti lokakarya co-creation, dialog berbasis narasi, pemetaan aktor sosial berpengaruh, hingga penggunaan platform digital engagement terbukti efektif dalam menjembatani perbedaan dan mempercepat proses kesepahaman. Terlebih di era digital saat ini, suara-suara penting sering muncul bukan dari ruang rapat, melainkan dari media sosial, kanal komunitas, atau forum daring yang bergerak cepat dan tak selalu terduga.

Bagi PT EMIL, membangun jembatan kolaborasi berarti merancang proses yang mengedepankan keterbukaan, empati, dan keberanian untuk mendengar. Karena stakeholder yang kolaboratif bukan hanya mereka yang menyetujui atau mendukung, tetapi yang merasa diakui dan memiliki ruang untuk berkontribusi. Hubungan yang kuat bukan sekadar soal kesepakatan, tapi soal rasa memiliki dan rasa dihargai—dua hal yang tidak bisa dibangun dengan komunikasi satu arah.

Organisasi yang memandang stakeholder sebagai mitra, bukan sekadar target komunikasi, akan lebih tahan menghadapi krisis dan perubahan. Di saat kepercayaan menjadi mata uang utama reputasi, kolaborasi sejati adalah investasi strategis jangka panjang—bukan hanya soal teknik, tapi komitmen untuk bergerak bersama demi keberlanjutan, legitimasi, dan nilai bersama. Seperti kata Freeman, “You can’t manage a business without taking into account how it affects people.

Ingin mendiskusikan lebih jauh tentang bagaimana membangun kolaborasi yang bermakna dengan stakeholder, atau ingin berkonsultasi untuk strategi komunikasi yang lebih inklusif dan berdampak? Silakan hubungi PT EMIL melalui WhatsApp di 0816-1886-688, atau kunjungi Instagram kami di @ptemil.id dan LinkedIn di PT EMIL.

Penulis: Hanifa Laila Zaituna

Referensi: 

Arnstein, S. R. (1969). A Ladder of Citizen Participation. Journal of the American Institute of Planners, 35(4), 216-224.

Freeman, R. E. (1984). Strategic Management: A Stakeholder Approach. Boston: Pitman Publishing.

International Organization for Standardization (ISO). (2010). ISO 26000: Guidance on Social Responsibility. Geneva: ISO.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *